KONSEP DESA DIGITAL
Pemerintah pusat melalui Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi terkait kondisi pandemi covid 19 yang sedang menerpa negara di dunia khususnya Indonesia, sudah tentu harus mengembangkan implementasi Desa Digital yang telah dicanangkan sejak lama. Desa Digital bukan hanya jawaban bangkit dari dampak negatif pandemi ovid 19, tetapi merupakan bentuk kesiapan desa desa di Indonesia dalam menghadapi era perdagangan bebas yang sedang kita jalani, oleh karena itu dalam rangka mengembangkan dan memperkuat program Desa Digital yang telah berjalan maka perlu dilakukanlah studi “Strategi Pengembangan Ekonomi Dan Investasi Desa Mendukung Percepatan Desa Era Digital”, guna mewujudkan desa kuat, maju, mandiri dan demokratis.
Kehadiran Revolusi Industi 4.0 sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang semakin maju, mau tidak mau memaksa semua lini sektor termasuk pertanian, untuk mampu beradaptasi dan memanfaatkan teknologi digital berbasis internet tersebut. Namun penerapan industri 4.0 tidaklah mudah, karena masih terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi sektor tersebut, seperti minimnya partisipasi kaum muda dan rendahnya kualitas SDM pada sektor pertanian, cakupan jaringan internet yang masih terbatas, maupun belum optimalnya dukungan permodalan. Kesenjangan pembangunan merupakan hal yang sampai saat ini masih terjadi di Indonesia. Kesenjangan tersebut terjadi antarwilayah serta antar kota dan desa. Kesenjangan yang terjadi antar kota dan desa juga terjadi dalam hal teknologi informasi dan komunikasi. Desa digital merupakan salah satu program untuk mengurangi kesenjangan arus informasi yang terjadi di desa. Konsep desa digital merupakan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi dalam pelayanan publik dan kegiatan perekonomian. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi prioritas karena dampaknya terhadap perekonomian. Permodalan masih menjadi permasalahan bagi UMKM. Sehingga pemerintah melakukan kerja sama dan koordinasi dengan BI, OJK, dan LPS guna mempermudah penguatan modal bagi UMKM melalui kredit perbankan. BI menetapkan target rasio kredit UMKM untuk mendukung program tersebut. Untuk meminimalisir risiko likuiditas dan risiko kredit UMKM, BI mengeluarkan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dengan mencantumkan surat berharga berupa obligasi sebagai alat likuiditas bank jika NPL tinggi. Penetapan RIM dapat memperlebar ruang gerak bank dalam menyalurkan kredit.
Memasuki era revolusi industri 4.0, berbagai kegiatan baik itu sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan lainnya selalu dikaitkan dengan penggunaan mesin-mesin otomasi yang terintegrasi dengan jaringan internet. Kondisi tersebut pun tentunya tidak dapat dihindari perkembangannya sehingga memaksa semua lini sektor, baik bisnis,
pendidikan, politik tak terkecuali pertanian, untuk mampu beradaptasi dan memafaatkan teknologi digital berbasis internet tersebut. Hal ini dikarenakan masa depan pertanian ke depan mungkin tidak lagi berlangsung secara konvensional namun akan tergantikan dengan teknologi berbasis internet. Selain berbasis internet (internet of things), terdapat teknologi utama lainnya yang menopang implementasi revolusi industri 4.0, diantaranya adalah super komputer (artificial inteligence), kendaraan tanpa pengemudi (human-machine interface), teknologi robotik (smart robotic), serta teknologi 3D printing. Sementara konsep pengembangan pertanian yang banyak dikembangkan pada saat ini adalah konsep pertanian cerdas, yang biasa juga disebut smart farming atau precision agriculture. Melalui implementasi tersebut, diharapkan proses usaha tani menjadi lebih efektif dan efisien, baik dalam segi waktu dan biaya sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing produk tani yang dihasilkan. Selanjutnya, untuk memasuki dan mendukung revolusi industri 4.0 di sektor pertanian, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Badan Litbang Pertanian mulai berinovasi mengembangkan teknologi seperti, cloud computing, mobile internet, dan artificial intelligence yang kemudian akan digabung menjadi teknologi alat mesin pertanian yang lebih modern, misalnya berupa traktor yang mampu beroperasi tanpa operator, pesawat drone untuk deteksi unsur hara, dan robot grafting. Salah
satu contoh pengembangan teknologi mekanisasi pertanian yang telah berhasil dibuat oleh Badan Litbang Pertanian adalah sebuah traktor yang diberi nama Autonomous Tractor. Traktor ini berfungsi untuk mengolah tanah menggunakan sistem navigasi real time kinematika (RTK) yang dapat melakukan pengolahan lahan sesuai perencanaan dengan akurasi 5-25 cm. Selain itu, Kementan juga telah memperkenalkan berbagai macam aplikasi untuk membantu usaha tani, seperti Sistem Monitoring Pertanaman Padi (Simotandi) yang menggunakan citra satelit beresolusi tinggi untuk bisa membaca standing crop tanaman padi, aplikasi Kalender Tanam (Katam) berfungsi untuk mengetahui waktu tanam, rekomendasi pupuk dan penggunaan varietas. Kemudian aplikasi Si Mantap yang dimanfaatkan PT. Jasindo dalam rangka mem-backup asuransi pertanian dan membantu pihak asuransi dalam mendeteksi risiko kekeringan dan banjir, bahkan organisme pengganggu tumbuhan.
Minimnya jumlah petani muda hingga rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di sektor pertanian merupakan serangkaian tantangan yang terjadi di sektor pertanian. Berdasarkan data statistik ketenagakerjaan sektor pertanian, bahwa sebagian besar SDM yang bekerja di sektor pertanian didominasi oleh kelompok umur 60 tahun ke atas (17,9 persen), sedangkan keterlibatan kaum muda pada pertanian masih sangat rendah. Minimnya minat kaum muda untuk terjun di pertanian yakni kondisi pertanian dianggap kurang menjanjikan, risiko yang tinggi, maupun level gengsi di masyarakat Selain itu berdasarkan tingkat pendidikan, SDM dengan tingkat pendidikan SD sebesar 37,53 persen dan tidak tamat SD sebesar 24,23 persen masih mendominasi SDM pada sektor tersebut, sedangkan SDM dengan tingkat pendidikan SMK, Diploma, dan Sarjana menjadi kelompok minoritas di sebaran tenaga kerja sektor pertanian dengan persentase masing-masing sebesar 3,78 persen; 0,45 persen; dan 1,02 persen. Padahal partisipasi kaum muda sangat diperlukan dalam menghadapi revolusi industri 4.0 di sektor pertanian, karena petani tua dan/atau berpendidikan rendah yang selama ini masih mendominasi pada sektor tersebut, dikhawatirkan belum mampu beradaptasi dan mengadopsi teknologi yang ada.
Pemanfaatan teknologi digital akses internet merupakan bagian dan teknologi yang mendukung industri 4.0. Namun terbatasnya jangkauan internet akan menjadi tantangan tersendiri dalam mengimplementasikan industri 4.0 pada sektor pertanian. Seperti yang diketahui, bahwa belum seluruh wilayah Indonesia terjangkau akses internet, khususnya daerah terpencil, pedalaman, maupun pedesaan. Palapa Ring yang merupakan proyek pembangunan jaringan serat optik dan diharapkan mampu membangun jaringan hingga mencakup sampai ke pelosok daerah, sejauh ini belum mampu menjangkau seluruh wilayah, dan masih ada 150 ribu titik tidak bisa dijangkau oleh jaringan optik (Latif dalam Kumparan, 2019). Sementara capaian wilayah pedesaan yang sudah tersentuh oleh jaringan 3G pun baru mencapai 73,02 persen dari total 83.218 desa/ kelurahan dan untuk cakupan 4G baru mencapai 55,05 persen saja (Kominfo dalam Detik.com, 2018). Di sisi lain, menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, bahwa penggunaan internet di pedesaan (rural) sendiri hanya sebesar 48,25 persen. Petani yang merupakan pelaku utama dalam sektor tersebut hanya sebesar 13,45 persen yang menggunakan internet dan sebagian besar berada dalam wilayah barat Indonesia (Sutas, 2018). Hal yang melatarbelakangi keengganan untuk memanfaatkan internet, salah satunya keterbatasan fisik (infrastruktur) dan biaya yang cukup tinggi untuk mendapatkan akses internet di daerah pedesaan tersebut.
Industri 4.0 tentu membutuhkan peralatan berteknologi canggih yang membutuhkan modal yang tidak sedikit. Ini juga menjadi satu tantangan bagi pelaku sektor pertanian khususnya petani. Banyak lembaga permodalan dengan berbagai skim kredit yang ditawarkan ke petani, namun pada kenyataannya hanya dapat diakses oleh kelompok tertentu, sedangkan petani kecil kesulitan. Sulitnya petani mengakses permodalan dikarenakan kurangnya kepercayaan lembaga keuangan untuk menyuntikkan dana ke petani sehubungan dengan penghasilan petani dinilai teralu kecil dan tak memiliki agunan memadai untuk jaminan pinjaman. Berbagai kredit program yang dikembangkan untuk usaha pertanian seperti Kredit Ketahanan Pangan-Energi (KKP-E), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada perkembangannya masih jauh dari harapan karena pada pelaksanaannya bank tidak akan memberikan kredit jika tidak memiliki agunan. Pemanfaatan internet melalui financial technology (fintech) yang kiranya diyakini dapat membantu dan mempermudah dalam mengakses permodalan pun (dikarenakan syarat dari fintech tidak terlalu sulit seperti perbankan) nyatanya masih belum memihak petani.
Sc:https://pendampingdesa.com/konsep-digitalidsasi-desa/
Komentar
Posting Komentar